ELING LAN WASPODHO
Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan
mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti
secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya
tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat
di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan
dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi
pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat
ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar
menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap
eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi
kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
-
Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta
melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi).
Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan
penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa
(God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang
Mahakuasa.
-
Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat
utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana
menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya
dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut
dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab
samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk
menggapai habluminallah.
ELING DIMENSI
KEMANUSIAAN
-
Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling sebagai
manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi
diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi
perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning
bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan
siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak
boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik
orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita
dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan
orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik
kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita
saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain
pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita
kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan
kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang
lainnya secara estafet.
-
Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa
pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya
dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,”
kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan
yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas
batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis
di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.
-
Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau
takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali
kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang
kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana
terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati,
dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci,
tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun
kehilangan.
WASPADA
-
Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan
celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat
dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat
ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan
hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan
untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita
mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan
menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk,
maupun lingkungan alam.
-
Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa
mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.
-
Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama
mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku
badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang
lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma
(gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang
kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan
kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari
menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan
bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang
yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung,
adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe
rekasa, tutwuri nyilakani.
-
Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing
Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan.
Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan
waspada yang akan selamat.
Esensi dari sikap
eling dan
waspada adalah
berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama
manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif
dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta
kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan
seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum
sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang
baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing
sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur
angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah
terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan
waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama,
kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar